Eksistensi Demonstrasi dan Anarkisme dalam Mindset




Istilah anarkisme kembali mencuat seiring maraknya demonstrasi atas penolakan kenaikan BBM yang akan diberlakukan 1 April nanti. Dalam mindset saya, istilah anarkisme diidentikan dengan kekerasan, kebrutalan dan pengrusakan oleh sekelompok orang baik itu ormas, mahasiswa, atau pun organisasi-organisasi lainnya kala mereka melakukan demonstrasi. Cukup mudah memang menafsirkan anarkisme dengan apa yang diidentikan tersebut, ketika berita-berita tentang demonstrasi yang disiarkan di beberapa stasiun televisi menampilkan gambar aksi kejar-kejaran antara polisi dan demonstran, aksi pembakaran, atau pun aksi lainnya yang cenderung merusak dan merugikan banyak pihak.
Kata demonstrasi yang anarkis sering di gunakan oleh banyak media massa untuk menggambarkan demonstrasi yang berakhir ricuh, sehingga semakin menguatkan istilah anarkisme sebagai sesuatu yang jelek dan buruk. Namun istilah anarkisme itu adalah suatu paham untuk tidak mempercayai negara, pemerintahan dan stakeholdernya yang berkuasa pada saat itu, karena mereka yakin bahwa pemerintahan yang berkuasa akan selalu menindas rakyatnya, sehingga mereka bertekad untuk menghilangkan atau menghancurkannya.
Anarkisme berasal dari teori politik yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat tanpa hirarkis. Para Anarkis berusaha mempertahankan bahwa anarki, tanpa adanya aturan-aturan, adalah sebuah skema yang dapat diterapkan dalam sistem sosial dan dapat menciptakan kebebasan individu dan kebersamaan sosial. Salah satu slogan yang cukup terkenal dari para anarkis di Spanyol yaitu “Terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan”.
Penggunaan kekerasan dalam anarkisme sangat berkaitan erat dengan metode propaganda by the deed, yaitu metode gerakan dengan menggunakan aksi langsung (perbuatan yang nyata) sebagai jalan yang ditempuh, yang berarti juga mengesahkan pengrusakan, kekerasan, maupun penyerangan. Selama hal tersebut ditujukan untuk menyerang kapitalisme ataupun negara. Namun demikian, tidak sedikit juga dari para anarkis yang tidak sepakat untuk menjadikan kekerasan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh.
Jika kita kembali pada demonstrasi anarkis yang sesuai dengan apa yang digambarkan oleh media, kita tentu bertanya-tanya apakah para demonstran yang melakukan aksi demonstrasi dengan cara kekerasan, pemberontakan, pembakaran dan pengrusakan mereka melakukan aksinya terinspirasi oleh gerakan-gerakan paham anarkisme? Saya rasa tidak, tindakan-tindakan yang kurang sopan tersebut muncul dengan sendirinya atau secara impulsif karena ketidakpuasan dan emosi yang menumpuk serta tidak terpenuhinya harapan masyarakat oleh pemerintah sebagai salah satu aktor pembuat kebijakan. Kekerasan dan pengrusakan tersebut merupakan implikasi penyaluran emosi masyarakat atas kondisi yang mereka alami yang jauh dari harapan mereka.
Penggunaan istilah anarkisme bukan ditunjukan untuk menyebutkan kekerasan atau kericuhan, tetapi istilah ini mungkin diikutkan karena biasanya kelompok anarkisme melakukan demonstrasi atas keberadaan negara dengan cara kekerasan. Bukan menyebutkan istilah sebenarnya dari anarksime itu sendiri yaitu kekerasan dan kericuhan. Dalam sejarahnya kelompok aliran paham anarkisme melakukan aksinya untuk mencari jalan terbaik bagi kelangsungan kehidupan masyarakat, untuk itu ada keinginan untuk menghilangkan atau menghancurkan negara atau pemerintahan yang berkuasa.
Tetapi apapun namanya, kekerasan, pengrusakan, bentrokan dan kericuhan bukan cara yang tepat untuk menyalurkan aspirasi, pendapat atau tuntutan kepada pemerintah. Demokrasi deliberatif—yang mengutamakan musyawarah atau dialog dapat menjadi jalan penengah untuk mencari solusi atas semua masalah.


Qurrotul A’yuni
Penulis adalah Mahasiswa Semester Pertama
Program Pascasarjana Magister Administrasi Publik Universitas Jenderal Soedirman
Dan Penerima Beasiswa Unggulan Kemendiknas BPKLN tahun 2011







0 komentar: (+add yours?)

Posting Komentar