Konflik
dan kekerasan seolah tak ada habisnya, bahkan cenderung merembet dan menyebar
bagai virus yang menyakitkan. Konflik memang tidak selamanya menimbulkan
kekerasan, akan tetapi berapa banyak konflik yang tidak berujung pada
kekerasan. Saya rasa banyak konflik yang di
publikasikan oleh media berujung pada kekerasan.
Kekerasan menjadi bukti nyata penyaluran emosi, kejengkelan serta kondisi penolakan
akan hasil dan fakta yang disodorkan di depan muka. Hampir seperempat dari
konflik yang dilaporkan mengakibatkan hilangnya nyawa, sekitar setengahnya
mengakibatkan korban luka-luka, dan spertiganya berupa kerugian harta benda. Akibat yang
menyayat hati dari konflik dan kekerasan terenggutnya nyawa orang-orang
yang tidak bersalah hingga
mereka mati dengan sia-sia. Cita-cita, harapan, tujuan, rencana yang diingini
tak terlaksana, hanya karena kekerasan yang tidak tau menau siapa yang
diuntungkan dari adanya
kekerasan tersebut.
Banyaknya kasus
kekarasan lokal di Indonesia ini, seperti kita disajikan tontonan film live action dengan semua pemain
menjadi figuran. Salah serang, salah pukul, salah tendang, tidak menjadi masalah
yang penting saat sutradara mengambil aba-aba untuk beraksi mereka telah siap
menyerang satu sama lain. Hal inilah yang menimbulkan banyak keprihatinan,
seolah hidup kita lekat dengan konflik dan kekerasan. sedikit mengutip
konflik-konflik yang terjadi belakangan ini di Indonesia, sekedar untuk
mengingat kembali konflik-konflik yang ramai dan terjadi akhir-akhir ini.
Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat selama 2011 terjadi sedikitnya 103 kasus
kekerasan pemerintah dan aparat terhadap rakyat terkait konflik sumber daya
alam, seperti bentrok polisi dan massa pengunjuk rasa yang menduduki
jembatan penyeberangan ferry Sape, Bima, NTB. Konflik
dan kekerasan dalam sektor agraria seperti kasus Mesuji yang dilatarbelakangi
sengketa lahan dan pihak pemodal perkebunan dan masyarakat dan kasus Bima pun
tidak berbeda jauh keterlibatan aparat negara yang memicu konflik, laporan
warga kabupaten Bima yang mengeluhkan berdirinya tambang awal 2011 di daerah
mereka yang mengganggu pertanian, air bersih dan ternak warga sekitar tambang. Kasus di Bima Mesuji dan Bima dianggap
sebagai kegagalan pemerintah dalam pembaharuan
agraria dan reformasi agraria (landreform)
yang menjadi mandat TAP MPR No. 9 tahun 2001.
Bentrok antar warga dan tetangga desa, bentrok antara FPI
dengan warga di Palangkaraya yang diawali dengan penolakan masyarakat adat Dayak di Palangkaraya terhadap Front
Pembela Islam (FPI). Mereka menyatakan masih
trauma dengan kehadiran FPI di kota mereka,
yang pernah melakukan beberapa kekerasan. Konflik dan kekerasan yang terbaru
yaitu penyerangan terhadap warga di RSPAD, yang menelan korban 2 orang,
kemudian terjadi bentrokan antar narapidana yang dipicu oleh kesenjangan antar
narapidana dan kelebihan penghuni di Lembaga Permasyarakatan Krobokan, Denpasar,
dengan 1 korban penusukan oleh tiga napi lainnya, kasus ini tentu amat
disayangkan karena membuat napi lainnya trauma dan juga merugikan negara karena disertai dengan
kebakaran dan kerusakan fasilitas LP.
Semakin
seringnya konflik dan kekerasan pecah membuat kita bertanya-tanya, kenapa
masih begitu banyak konflik yang berakhir dengan kekerasan, padahal Indonesia
adalah salah satu Negara yang menjunjung tinggi
demokrasi dan
pluralism. apa yang sebenarnya hendak dicapai dari adanya kekerasan ini.
Kenapa kekerasan tidak dapat dicegah, bahkan seperti adanya keterbukaan serta
izin yang seluas-luasnya untuk kekerasan. Dalam
sebuah organisasi terkadang memang dibutuhkan sebuah konflik, bahkan konflik
sedemikian rupa dibuat guna membangkitkan kepekaan, spontanitas, keperdulian,
kecermatan pegawai dalam mengatasi suatu masalah, bahkan konflik dijadikan pemicu
inovasi. Tetapi bagaimana jadinya ketika konflik muncul tetapi cenderung
menggelinding seperti bola liar yang tidak tahu akhir dan penyelesainnya.
Para pengamat menyampaikan beberapa faktor
berbeda yang dapat dihubungkan dengan konflik dan kekerasan lokal. Faktor-faktor tersebut adalah
kemiskinan, kesenjangan sosial, ketidakpastian/guncangan pendapatan,
pengangguran, ketidakadilan dalam pembangunan, dampak industrialisasi,
desentralisasi, ketidakjelasan hak atas tanah, kesenjangan ekonomi dan pengaturan
sumber daya regional. Selain itu konflik bisa terjadi akibat dinamika sosial
seperti gagasan kelompok seperti
antar kelompok agama dan antar kelompok etnis, dan faktor-faktor kelembagaan seperti sejauhmana konflik tersebut ditengahi dengan
efektif, pemberian sanksi, dan penegakan hukum yang tegas oleh aparat.
Lalu,
bagaimana cara yang paling jitu untuk mencegah, mengurangi dan menyelesaikan
permasalahan konflik ini? Secara teoritis,
Cristopher W. Moore (1986) mengajukan beberapa tipologi atau jenis penyelesaian
konflik yang dapat diaplikasikan untuk bermacam jenis konflik, yakni
penghindaran (conflict avoidance),
diskusi dan penyelesaian masalah secara informal (informal discussion solving), negosiasi (negotiation), mediasi (mediation),
keputusan administratif (administratif
decision), arbitrasi (arbitration),
keputusan hukum (judicial decision),
keputusan legislatif (legislatif decision),
paksaan tanpa kekerasan (nonviolent
direct action), dan paksaan dengan kekerasan (violent direct action).
Sedangkan Direktur Program
Imparsial, Al Araf menyatakan setiap permasalahan lokal harus dipantau dari hulu hingga
hilir. Kekerasan hanyalah hilir, sedangkan hulunya ada di negara yang belum mampu mengatasi dan mencegah
hal-hal yang memicu konflik dan kekerasan. Tentu perlu waktu dan usaha yang
keras untuk meredakan konflik. Toleransi yang tinggi, saling pengertian dan
saling menghargai adalah kunci untuk meredam konflik dan kekerasan. Semoga
Indonesia menjadi negara yang aman, tentram dan damai. Karena konflik dan kekerasan
akan berdampak pada pembangunan, kesejahteraan dan perekonomian bangsa.
Qurrotul
A’yuni
Penulis adalah
Mahasiswa Semester Pertama
Program
Pascasarjana Magister Administrasi Publik Universitas Jenderal Soedirman
Dan Penerima
Beasiswa Unggulan Kemendiknas BPKLN tahun 2011
0 komentar: (+add yours?)
Posting Komentar