Kalimat yang acapkali
muncul dalam sebuah diskusi yang panjang dalam kaitannya dengan seni dan budaya
adalah bagaimana cara untuk mempertahankan seni dan budaya supaya tetap ada dan
terus dilestarikan. Memang, lebih sulit mempertahankan daripada melupakan. Bagi
sebagian orang yang menganggap seni dan budaya adalah hanya hiburan semata,
akan mudah melupakan dan meninggalkan seni dan budaya tersebut. Berbeda dengan
orang yang memiliki filosofi panjang mengenai seni dan budaya tertentu, yang
selalu mendambakan seni itu tetap ada dan dikenal oleh masyarakat luas, mereka
akan mencoba dan tetap berusaha mempertahankan seni dan budaya tersebut dengan
berbagai cara dan kegiatan.
Masuknya arus globalisasi yang semakin deras,
tentulah sangat mempengaruhi pola
perilaku dan berpikir masyarakat mengenai banyak hal. Globalisasi juga merubah
tatanan hidup masyarakat yang semula mereka hidup dalam ketradisionalan menjadi
masyarakat yang sophisticated.
Perubahan ke arah sophisticated inilah
yang kemudian memunculkan gengsi dalam masyarakat sehingga mengurangi ketertarikan
mereka akan budaya lokal yang sangat kaya makna, kaya keteladanan, dan kaya
akan nasehat. Bahkan ada kecenderungan bagi generasi muda untuk mengabaikan dan
melupakan budaya lokal mereka sendiri, mereka beranggapan bahwa seni dan budaya
yang ada, sangat kuno dan sulit untuk diikuti. Padahal menurut Driyarkara
(1980: 8) menyatakan bahwa kesenian selalu melekat pada kehidupan manusia, di
mana ada manusia di situ pasti ada kesenian.
Kabupaten Banyumas sebagai salah satu bagian wilayah
propinsi Jawa Tengah, memiliki berbagai macam budaya, seni pagelaran dan
pertunjukan, adat istiadat, dialek, makanan tradisional dan kesenian yang
menarik, hal tersebut dikarenakan letak geografis Banyumas. Budaya Banyumas
terbentuk sebagai akibat kondisi geografis yang terletak di antara dua kekuatan
budaya besar (marginal survival)
yaitu budaya jawa dan budaya sunda. Hal ini mengakibatkan corak kebudayaan
Banyumas yang tidak lepas dari perpaduan kedua wilayah tersebut.
Kesenian khas Banyumas tersebar di seluruh
daerah-daerah sekitar Banyumas seperti di Purwokerto, Cilacap, Banjarnegara,
Purbalingga, Gombong, Wonosobo, Kebumen, Purworejo, Kulon progo, dan Magelang.
Kesenian-kesenian tersebut pada umumnya merupakan seni pertunjukan rakyat yang
memiliki fungsi-fungsi tertentu berkaitan dengan kehidupan masyarakat
pemiliknya. Kesenian yang berasal dari di daerah Banyumas antara lain, Aplang,
Buncis, Sintren, Angguk, Ebeg atau Jathilan, Dhames, Baritan, Ujungan, Gamelan
Calung, Wayang kulit, Jemblung,
Begalan, Aksi muda, Rodat, Dhaeng, Sintren, Ronggeng, Ketoprak, Dagelan, dan
Lengger Calung.
Pada dasarnya tujuan
dari ritual-ritual tradisional berkaitan dengan peristiwa-peristiwa tertentu
yang dianggap berpengaruh terhadap pelestarian kehidupan manusia sangatlah
baik. Bagaimana mereka harus berdamai dengan alam, menghargai alam, mereka
tidak dapat mengetahui apa yang akan dilakukan alam pada kehidupan mereka, alam
bisa saja marah dan menebarkan bencana yang cukup besar. Untuk itu mereka meminta
kepada yang membahu rekso supaya
terhindar dan terlindungi dari segala bencana serta mengucap syukur ketika
kelimpahruahan menghampiri mereka.
Kenyataannya,
maksud dan inti dari ritual-ritual tradisional tersebut mulai dilupakan dan
terpinggirkan. Kesenian lengger merupakan salah satu kesenian yang ada dan
berkembang di Banyumas. Kesenian lengger sebagai seni rakyat pada awalnya
berkembang di desa-desa atau daerah pertanian dan kesenian ini dapat disebut
tarian rakyat pinggiran, merupakan seni rakyat yang cukup tua, dan merupakan
warisan nenek moyang atau leluhur masyarakat Banyumas. Kesenian lengger pada
awalnya merupakan bagian dari ritual (sakral) dalam upacara baritan (upacara
syukuran keberhasilan/pasca panen).
Pada
zaman dahulu di daerah Banyumas tarian lengger dimainkan pada masa sesudah
panen sebagai ungkapan syukur masyarakat terhadap para dewa yang telah
memberikan rejeki. Boleh dikatakan bahwa tarian lengger pada awalnya adalah
sebuah tarian religius atau tarian keagamaan lokal.
Babak
dalam Tarian lengger
Bentuk
pertunjukan kesenian tradisional lengger calung pada umumnya dibagi menjadi
empat babak yaitu (a) babak gambyongan/lenggeran, (b) babak badutan,
(c) babak kuda calung (ebeg-ebegan), dan (d) babak baladewan.
Babak
Gambyongan—Babak pertama yaitu munculnya tari
gambyong yang ditarikan oleh penari wanita, menggambarkan keluwesan remaja
perempuan yang sedang beranjak dewasa, mereka melakukan gerak bersolek atau
berhias diri agar menjadi cantik sehingga banyak pemuda tertarik. Tarian ini
sebagai pembuka dalam kesenian lengger calung, dan mempunyai makna ucapan
selamat datang dan menyaksikan pertunjukan.
Babak
Badutan—Pada babak kedua ini dimaksudkan untuk memberikan
waktu istirahat kepada penari lengger selama kurang lebih 30 menit, jumlah
penari badutan ini biasanya 2 orang, bisa laki-laki semua atau pasangan
laki-laki dan perempuan. Mereka menari dengan gerakan yang lucu sehingga dapat
menghibur penonton, kemudian biasanya dilanjutkan melawak dengan dialek khas
Banyumasan.
Babak
ebeg-ebegan atau Kuda calung—Babak ketiga ini
biasanya dilakukan pada tengah malam di mana penari kuda calung atau ebeg ini
melakukan ndadi (wuru/mendem). Pada babak ini biasanya penonton ingin
melihat bagaimana seorang pemain menari dalam keadaan ndadi, kemudian
melakukan kegiatan atau atraksi yang aneh-aneh, misalnya makan bunga, makan
kaca, makan bara api, minum air bunga, kelapa muda yang dikupas dengan gigi
pemainnya, sintrenan atraksi akrobat dan sebagainya.
Babak
akhir yaitu Baladewan—Pada babak terakhir yaitu munculnya
penari yang menarikan tari Baladewan, pada adegan ini merupakan penggambaran
bahwa semua roh leluhur kesenian lengger kembali ke tempat mereka bersemayam.
Konon mereka adalah para dewa yang bertugas untuk membantu manusia dalam
kegiatan sehari-hri dalam kehidupanya. Iringan yang digunakan adalah
instrumen/gamelan calung yang terbuat dari bambu laras slendro dan pelog.
Tarian
lengger saat ini sudah mengalami banyak perubahan, dulu dijadikan sebagai
ritual keagamaan untuk mengucap syukur pasca panen, kini lengger dijadikan
sebagai tari pergaulan atau tari untuk pertunjukan-pertunjukan tertentu,
seperti ada tamu besar, pernikahan, event-event penting dan kegiatan lainnya.
Memang tidak ada salahnya, sejatinya budaya lokal memang harus diketahui oleh
masyarakat luas. Semakin banyak yang mengatahuinya maka akan semakin banyak
orang yang kemungkinan akan tertarik dan mempertahankannya. Memang tidak dapat
dipungkiri dengan datangnya perubahan sosial yang
hadir sebagai akibat proses industrialisasi dan sistem ekonomi pasar, dan
globalisasi informasi, maka kesenian kita pun mulai bergeser ke arah kesenian
yang berdimensi komersial, sebagai akibatnya masyarakat tidak tertarik lagi
menikmati berbagai seni pertunjukan tradisional yang sebelumnya akrab dengan
kehidupan mereka.
Qurrotul A’yuni
Mahasiswa Semester Pertama Program
Pascasarjana
Magister Administrasi Publik Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto
Dan Penerima Beasiswa Unggulan Kemendiknas BPKLN